Jurnal 1
Review contoh: Motif Batik Khas Samarinda
Pendekatan: Semiotika
Teori:
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan titik. Batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain batik (Yudoseputro, dalam Dyna : 2010).
Perkembangan motif batik dipengaruhi oleh ilham alam sekitar daerah produsen batik tersebut. Batik bukan sekedar lukisan yang dituliskan pada kain dengan menggunakan canting. Sebab, motif yang dituliskan pada selembar kain batik selalu mempunyai makna tersembunyi. Tidak hanya motif yang memiliki makna didalamnya, melainkan bentuk dan warna juga mempunyai makna tersendiri yang ingin disampaikan melalui kain batik.
Dalam upaya mengembangkan dan melestarikan identitas budaya bangsa, maka Komunitas Remaja Batik Samarinda berupaya mewujudkan dengan mengadakan lomba desain motif batik khas Samarinda. Lomba yang bertemakan batik khas Samarinda sebagai identitas warisan budaya ini diselenggarakan pada Juni 2012 oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Kominfo Samarinda yang bekerjasama dengan Komunitas Remaja Batik Samarinda. Lomba yang diikuti oleh 60 karya desain batik yang digambarkan dalam sebuah kertas dengan ukuran A2 ini tidak hanya berasal dari daerah kota Samarinda saja, melainkan banyak pula peserta dari luar daerah, seperti daerah pulau Jawa, Medan dan Jakarta.
Analisis :
Dalam batik khas Samarinda versi batik Samarenda tanda yang paling menonjol dalam menggambarkan karakter kota Samarinda ditunjukkan melalui gambar ikan pesut dan gambar sarung Samarinda. Dengan menggunakan gambar ikan pesut penggambaran kota Samarinda dapat terlihat secara jelas oleh kasat mata, karena ikan pesut merupakan maskot dari kota tepian yaitu kota Samarinda. Warna abu-abu yang digunakan dalam gambar ikan pesut tersebut memberikan efek maupun kesan kesederhanaan dan tenang bagi penggunanya. Warna abu-abu yang memiliki sifat positif elegan (berselera tinggi), rendah hati, penghargaan, stabilitas, kualitas tinggi, keabadian dan bijaksana, sedangkan untuk sifat negatif yaitu keragu-raguan tidak dapat membedakan mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting. Karena sifatnya yang netral warna abu-abu sering dilambangkan sebagai penengah dalam pertentangan.
Dalam batik khas Samarinda versi Batik Samarenda penggambaran ikan pesut bertujuan untuk membantu melestarikan ikan yang hidup di air tawar ini walaupun hanya dalam wujud karya seni. Diharapkan dengan adanya motif ikan pesut dalam Batik Samarenda dapat membuat warga kota Samarinda sadar dan tahu mengenai sejarah kota Samarinda bahwa dahulu kala di kota ini terdapat banyak sekali ikan pesut yang hidup di perairan sungai Mahakam. Pada masa lampau mudah bagi kita untuk melihat sosok ikan pesut karena banyak muncul diperairan sungai Mahakam, namun saat ini hal tersebut sangat jarang terjadi. Inilah yang menjadi poin penting dalam penggambaran karakter ikan pesut pada batik Samarenda, yaitu untuk menjadikan masyarakat lebih peduli dan peka terhadap lingkungan sekitar serta ikut menjaga agar ikan pesut tersebut tidak mengalami kepunahan.
Kemudian, untuk gambar sarung Samarinda yang sejatinya merupakan budaya asli khas kota Samarinda, menunjukkan keaslian atau originality Batik Samarenda. Dengan pamor sarung Samarinda dalam dunia industri yang dikenal sebagai ikon budaya asli kota Samarinda digambarkan dalam batik Samarenda ini sebagai perwujudan bahwa batik Samarenda merupakan batik khas kota Samarinda. Dengan adanya motif sarung Samarinda dalam batik Samarenda ini diartikan sebagai bentuk penggambaran atau pengecapan bahwa batik Samarenda adalah batik asli kerajinan dari kota Samarinda. Dalam kolaborasi motif sarung Samarinda dengan batik Samarenda ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengenal dan mengetahui batik Samarenda yang tergolong baru ini. Dengan dibantu gambar motif sarung Samarinda yang telah lebih dulu terkenal menjadikan batik Samarenda mudah untuk dikenali, sebab motif sarung Samarinda hingga saat ini cukup populer, bahkan telah dikenal hingga ke mancanegara. Penggunaan warna merah dan warna hitam dalam sebuah tanda tentu menimbulkan makna yang beranekaragam, namun dalam batik Samarenda warna merah pada gambar motif sarung Samarinda diarti sebagai warna yang dapat menarik perhatian karena warna merah mempunyai nilai dan kekuatan warna yang paling kuat sehingga dapat memberikan daya tarik yang sangat kuat untuk menarik perhatian orang yang melihatnya.
Warna ini juga disenangi banyak orang terutama oleh anak-anak dan wanita. Selain, dapat menarik perhatian warna merah juga dilambangkan sebagai warna kegembiraan dan keberanian. Sedangkan warna hitam dalam batik Samarenda diartikan sebagai warna yang dapat menampilkan kesan modern, elegan dan mewah.
Kesimpulan :
Dapat ditarik keseimpulan sebagai berikut :
Tanda-tanda dalam Batik Samarinda versi Batik Samarenda merupakan sejumlah tanda yang mengandung unsur relationship sebagai konsep cerita dalam Batik Samarenda, dimana konsep tersebut menggambarkan karakter kota Samarinda. Melalui konsep yang saling berhubungan tersebut karakter kota Samarinda terlihat sangat menarik, dengan penggunaan beberapa ikon dari kota Samarinda yaitu, ikan pesut, sarung Samarinda dan perairan sungai Mahakam. Batik Samarenda secara keseluruhan telah menunjukkan karakter kota Samarinda. Dengan mengemas beberapa motif yang diambil dari ikon kota maupun ikon budaya kota Samarinda secara berkesinambungan menghasilkan sebuah batik daerah yang dapat menjadi salah satu ikon budaya maupun identitas kota Samarinda itu sendiri.
Yang bisa diteliti dari jurnal tersebut :
Pencipta batik Samarenda telah mampu menciptakan konsep batik yang menarik dan memiliki filosofi sejarah dalam menggambarkan kota Samarinda. Untuk kedepannya, diharapkan agar pengrajin atau pembuat batik dapat tetap mempertahankan budaya-budaya yang ada pada daerah setempat, sehingga dapat tercipta batik-batik yang khas yang sesuai dengan karakter kota Samarinda.
Jurnal 2
Review Contoh : Analisis Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual
Pendekatan : Semiotika struktural dan posmodernisme
Teori :
Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan, lambang-lambang, atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, corporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik. Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti: garis, warna, dan komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non verbal, ia dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan ataupun ucapan.
Di dalam rancang grafis yang kemudian berkembang menjadi desain komunikasi visual banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai lambang visual pesan, guna mengefektifkan komunikasi. Upaya mendayagunakan lambang-lambang visual berangkat dari premis bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan sangat istimewa untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal. Dikatakan Umar Hadi (1993), sebagai bahasa, desain komunikasi visual adalah ungkapan ide, dan pesan dari perancang kepada publik yang dituju melalui simbol berujud gambar, warna, tulisan dan lainnya. Ia akan komunikatif apabila bahasa yang disampaikan itu dapat dimengerti oleh publik. Ia juga akan berkesan apabila dalam penyajiannya itu terdapat suatu kekhasan atau keunikan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah dibedakan dengan yang lain. Maka dalam berkomunikasi, diperlukan sejumlah pengetahuan yang memadai seputar siapa publik yang dituju, dan bagaimana cara sebaik-baiknya berkomunikasi dengan mereka. Semakin baik dan lengkap pemahaman kita terhadap hal-hal tersebut maka akan semakin mudah untuk menciptakan bahasa yang komunikatif.
Analisis :
Penggunaan semiotika struktural dan semiotika pasca struktural menjadi pertimbangan khusus. Hal itu menjadi penting karena untuk kasus tertentu, semiotika struktural tidak bisa untuk menganalisa teks (karya desain komunikasi visual), ketika teks tersebut keluar dari kode yang berlaku. Dengan demikian, semiotika struktural yang stabil tidak bisa menjelaskan teks yang labil, untuk itu diperlukan semiotika pasca struktural.
Kesimpulan :
Pesan yang terdapat pada berbagai karya desain komunikasi visual adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan. Tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secaraikonis, indeksikal, atau simbolis.
Mengingat karya desain komunikasi visual mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual serta penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode
analisis tanda guna mengupas karya desain komunikasi visual layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya.
Jurnal 3
Review Contoh : Analisis Batik Larangan dari Yogyakarta
Pendekatan : Semiotika
Teori :
Di Nusantara teknik batik berkembang sangat pesat. Konon, kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu amba yang berati menulis, dan nitik yang berati membuat titik (Wahyu, 2012:4). Namun sejarah batik di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan setelahnya. Dari beberapa catatan, perkembangan batik terjadi pada zaman kerajaan Mataram dan berlanjut pada masa kejayaan kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Bagi masyarakat Yogyakarta dan Surakarta, batik bukan sekadar benda tekstil yang akan menjadi busana, melainkan batik juga mengandung filosofi dan kepercayaan yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar lingkungan keraton. Di lingkungan keratin batik memperoleh kekuatan dan penafsiran yang paling eksplisit, batik menjadi busana kebesaran bagi raja dan kerabatnya.
Oleh karena itu, pusat seni batik selalu berada di dalam keraton. Seni batik selalu dirawat dan disempurnakan, sehingga akhirnya batik mencapai kesempurnaan penggarapan dan kedalaman rasa, serta menjadi salah satu seni utama keraton-keraton di Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan konsepsi sosiologi Jawa yang menyatakan bahwa keraton adalah pusat atau kota raja sebagai pencipta seni dan masyarakat luarnya hanya sebagai penikmat.
Analisis :
Simbol dalam Batik Larangan di Yogyakarta adalah nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna, dan fungsi kain, karena bagian-bagian tersebut mewakili dari keseluruhan maksud yang disampaikan dalam suatu sistem.Hal-hal yang disimbolkan pada masing-masing jenis Batik Larangan mengandung arti yang baik dan memiliki makna filosofi yang sangat mendalam.Bagi pemakainya diharapkan dapat memberikan pancaran kekuatan seperti yang terkandung dalam makna filosofinya.Sebagai contoh,motif parang rusak hanya diperbolehkan untuk raja, permaisuri, dan putra mahkota. Untuk raja motif parang rusak barong, permaisuri parang rusak gendreh dan untuk putra mahkota parang rusak klitik.Masing-masing hanya dibedakan dengan ukurannya. Urutan paling atas menandakan bahwa kain tersebut memiliki kedudukan tinggi. Makin ke bawah urutan kain-kain tersebut, semakin rendah kedudukannya. Orang-orang yang boleh mengenakannya jumlahnya lebih banyak dibanding kain-kain urutan di atasnya. Jadi susunan motif-motif kain tersebut menunjukkan hirarki sosial dan status sosial. Bagi masyarakat Yogyakarta busana dianggap sebagai salah satu sarana penegak kewibawaan, terutama bagi sultan dan kalangan bangsawan yang tinggal di keraton.Kaum bangsawan percaya bahwa kain batik yang mereka kenakan dapat memberikan pancaran religius magis. Selain itu, batik merupakan simbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Condronegoro, 1995: 18-19). Hal ini ternyata berkaitan erat dengan konsep kepemimpinan tradisional Jawa,seperti yang diyatakan oleh Soemarsaid yaitu konsep kawula gusti. Di mana raja sebagai seorang pemimpin diumpakan sebagai gusti.Gusti adalah konsep perumpamaan bahwa raja harus memiliki sifat-sifat Ketuhanan.Bahwa sultan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi. Dia adalah penguasa sah di dunia dan merupakan perantara tunggal yang harus dilalui manusia untuk mencapai Tuhan, demikian juga sebaliknya dia harus dilalui Tuhan untuk manusia (Moertono, 1985: 42). Sebagai wali Tuhan, Sultan ditempatkan pada tampuk tata masyarakat jauh di atas jangkauan orang biasa. Dia merupakan sumber kekuasaan yang pokok, menyeluruh dan tunggal dalam negara. Sebagai pemimpin, seorang Sultan harus mempunyai dua unsur yaitu kekuasaan dan kewibawaan. Kedua unsur itu harus saling membantu karena untuk menambah kekuatan diperlukan kewibawaan yang besar (Depdikbud, 1976: 164). Kekuasaan dalam konsep Jawa erat hubungannya dengan kesakten (Surbakti, 1992:81).Untuk melegitimasikan kekuasaan dan kewibawaannya sebagai penguasa tertinggi di Yogyakarta, Sultan harus memperlihatkan dengan "Kultus kemegahan".
Kesimpulan :
Terlihat karakter masayarakat Jawa yang sangat menjunjung tinggi hierarki sosial. Melalui kain Batik Larangan leluhur masyarakat Jawa ingin mengingatkan generasi penerusnya untuk menjaga keharmonisan, keselerasan, dan keseimbangan dalam hidup serta bijaksana dalam menyikapi hidup. Busana tertanya tidak hanya berfungsi sebagai penutup anggota tubuh saja, tetapi juga menggambarkan identitas pemakainya.Bahkan bagi masayarakat Yogyakarta busana bagi seorang pemimpin berfungsi untuk melegitimasi kedudukannya. Melalui busana yang dikenakan dalam hal ini kain batik diharapkan kultus kemegahan dapat diperolehnya
Comments
Post a Comment